Oleh: Yeti Ratnasari, Sa'diyah Masim, Sri Nurmalita (semester VII)
Pagi itu seperti biasanya, Dr. Yeni seakan merapat, merenggang nafas setengah jeda. Karena setiap proses usaha yang selalu punya nilai estetika, adapun hasil kilauannya hanya dalam jangkauan asa. Bahwa hasil serupa selalu mempunyai daya. Begitulah gambaran yang dirasakan Dr. Yeni Salma Barlinti, SH, MH, salah satu dosen Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok. (Selasa, 16 September 2014).
Daya yang menjadi kekuatan dan keberanian mahasiswinya, Anbar Jayadi untuk mengajukan yuridisial review UU No. 2 ayat 1 tahun 1974 terkait perkawinan beda agama, yang belum lama ini cukup mengguncang Mahkamah Konstitusi membuatnya bangga sekaligus kecewa.
Pasalnya, sosok wanita jebolan dari Universitas Indonesia yang ketika itu berpakaian serba putih, dan dibalut dengan bordiran abu-abu serta kerudungnya yang khas, menanggapi bahwa pengajuan yuridisial review itu adalah hak setiap warga Negara. "Saya bangga dan sangat menghargai pendapat dari Anbar Jayadi dan pemohon lainnya, karena tindakan ini mencerminkan keberhasilan dosen mata kuliah yang disampaikan, apalagi mereka ikut menyampaikan langsung ke MK."
Namun demikian, dosen yang mengajar mata kuliah Asas-asas Hukum Islam dan Hukum Perdata Islam sejak tahun 1998 hingga sekarang, mengatakan tidak sependapat dengan isi materi yang diajukan oleh mahasiswi tersebut. Pasal 2 ayat 1 adalah menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan. Di dalam pasal tersebut, perkawinan sah jika dilakukan berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing.
Bercermin dari muatan konstitusi baik perundang-undangan ataupun Pancasila, keduanya sama-sama berlandaskan atas Ketuhanan yang maha Esa. "Jadi, kalau perkawinan tidak sesuai ketentuan agama masing-masing, ya tidak sah!!" tutur dengan nada antusias.
Raut wajah serius yang ditampakan oleh wanita kelahiran Banten, di ruangan berukuran 2x3 pada 13.20 siang, sebagai expresi keberatan yang dilakukan mahasiswinya cukup mendulang kekecewaan, dengan dibekali mata kuliah Hukum bermuatan agama yang wajib, dan setiap mahasiswa harus lulus dengan bobot 2 SKS, beliau pun menuturkan, "Sudah sewajarnya setiap orang harus patuh kepada Tuhannya, dan setiap agama pun mengajarkan itu."
"Indonesia adalah Negara hukum yang religius, kesinambungan antara agama dan konstitusi haruslah berdampingan, dan Negara tidak melepaskan diri dari nilai-nilai agama, sebagaimana dalam pembukaan UUD yang menjadikan Ketuhanan yang Maha Esa sebagai pijakan aspek kehidupan yang bersifat universal." Tuturnya mengawang masa lalu, sambil mengingat-ingat perkataan teman sekaligus dosen senior yang bernama lengkap Neng Jubaedah Ph.d. Nah, kata itu seolah mujarab untuk menanggapi fenomena ini.