Kamis, 02 Oktober 2014

Sekolah sambil Berdagang, Siapa Takut?

Oleh: Iin Indah Fauziah



Bermula dari peraturan sekolah yang mengharuskan para santrinya untuk bisa mandiri, dengan membayar uang penamatan sebesar Rp 2.000.000 dari hasil usaha mereka, tanpa meminta dari keluarga masing-masing. Sekolah yang dia tempati ketika itu adalah sekolah yang gratis, tetapi para santri dididik untuk bisa mandiri dan tidak bergantung kepada orang lain. "Biar ngerasain habis keluar dari ma'had bagaimana susahnya mencari uang", tutur Husnul Khotimah Burhan, ketika ditanya tentang alasan sekolahnya itu membuat peraturan tersebut.

Modal awalnya tidak banyak, hanya sebesar Rp 60.000. Dia pun memulai dengan berjualan gorengan di sekitar asrama tempat tinggalnya.  "Aku ga mikirin dalam sebulan itu harus untung sekian, aku berjualan itu memang pada dasarnya butuh, tetapi ketika telah dijalani butuhnya itu jadi nomer sekian. Nyenengin orangnya itu jadi nomer satu, seneng aja mengisi kekosongan, seneng lihat orang lain memakan hasil buatan sendiri", kata gadis yang telah memulai dagangnya ini sejak dia duduk di bangku kelas III SMA.

Berjualan lantas tidak  menyurutkan semangatnya dalam belajar, bahkan semangat belajarnya bertambah naik ketika dia mendapatkan dagangannya itu laku. Dia pun masuk dalam peringkat lima besar dari 26 murid yang ada ketika itu. "Harus pintar-pintar membagi waktu, jangan menjadi alasan untuk tidak belajar. Kalau sedang belajar aku memposisikan diri aku sebagai seorang pelajar, dan ngurusin jualan itu ketika sebelum tidur atau sebelum subuh", terangnya.

Dan ketika tamat dari sekolah tersebut, kini dia kembali berkarya dengan berjualan jus dan makanan ringan di tempat kuliahnya. "jualan itu tidak mengganggu kuliah kok, dan alasan belajar itu terganggu gara-gara berjualan itu tidak ada, tidak ada namanya jualan itu mengganggu pelajaran, yang terpenting harus pintar-pintar membagi waktunya", katanya dengan penuh kemantapan dan percaya diri.