Oleh: Sarah Pertiwi, Yulaifa, Nur 'Azizah (Mahasiswi Semester VII)
Pagi itu pukul 09.15 wib, fakultas Hukum Universitas Indonesia terlihat tenang, hanya ada beberapa orang yang baru memasuki halaman kampus. Namun, selang beberapa menit, beberapa tempat mulai terlihat ramai oleh mahasiswa dan mahasiswi yang baru saja mengikuti perkuliahan.
Ada beberapa mahasiswi fakultas ini yang dari awal kedatangan mahasiswi STID Moh Natsir, mempersilahkan dan mulai membuka obrolan yang sifatnya berupa perkenalan yang pada akhirnya membawa percakapan tersebut ke dalam wawancara seputar “perkawinan beda agama”. “Ya, saya sendiri terus terang tidak menyetujui adanya perkawinan beda agama ini.” Ungkap salah satu mahasiswi mulai mengungkapkan pendapatnya.
Meskipun ada beberapa orang, yang mengajukan pendapat agar disahkannya perkaratersebut, notabenenya adalah teman mereka sendiri, alias teman satu atap dalam fakultas tersebut, mereka tidak serta merta menjadi pendukung yang mengsuport sahabat, hanya karena dianggap telah berani tampil mengajukan pendapat
“Sebab, dilihat dari beberapa perkara yang ada, kebanyakan hubungan rumah tangga pasangan beda agama tersebut, tidaklah harmonis. Pengaruh yang paling besar yang akan mereka hadapi adalah masalah pembagian hak waris nantinya, kepada ahli waris mereka.” sambung Putri Leony, mahasiswi UI Depok Fakultas Hukum yang kini duduk di bangku semester VII. Obrolan tersebut semakin lama semakin asyik, ditunjang dengan tempat yang begitu nyaman dan keramahan beberapa mahasiswi fakultas tersebut.
Salah satu tempat yang digemari oleh mahasiswa dan mahasiswi fakultas tersebut adalah Selasar yang terletak depan moot court FHUI, di tempat ini terlihat beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang duduk berhadapan, dibarengi dengan obrolan-obrolan yang terkadang membuat mereka tertawa ceria, sebagian mereka ada yang fokus dengan memperhatikan handphone masing-masing, ada pula yang bergurau satu sama lain sambil meneguk minuman yang ada di hadapan mereka.
Percakapan berlangsung dengan lancar, yang pada akhirnya diketahui bahwasannya tidak semua mahasiswa maupun mahasiswi Universitas Indonesia khususnya di fakultas Hukum, menyetujui adanya perkawinan beda agama, seperti apa yang diajukan Anbar Jayadi, mahasiswi Fakultas Hukum UI Depok dan beberapa alumni lainnya, kepada pemerintah akhir-akhir ini.
Dari beberapa mahasiswi yang dimintai pendapat mengenai topik ini, mereka memiliki beragam pandangan yang menjadi alasan mengapa mereka tidak setuju dengan apa yang diajukan oleh rekan kuliah mereka sendiri, serta pandangan mereka mengenai tindakan Anbar Jayadi dan beberapa alumni universitas tersebut.
Salah seorang mahasiswi fakultas hukum lainnya, yang kerap disapa Nabella, mengungkapkan ketidak setujuannya secara gamblang ketika ditemui pada Rabu, 17 september 2014 difakultasnnya. Ia mengakui bahwa, perkawinan beda agama ini merupakan salah satu hak sebagai warga negara, yaitu berhak memilih pasangan mereka masing-masing, sesuai kriteria mereka sendiri. Kedua, semua perkara dikembalikan kepada masing-masing individu, dari sudut mana ia memandang.
Namun yang perlu diperhatikan menurut mahasiswi asal Jakarta ini, bahwa perkawinan ini akan berdampak pada psikologi dan kepribadian anak dari pasangan beda agama tersebut. Mengapa demikian? Sebab menurut remaja kelahiran 1993 ini, ia menilai bahwa, pasangan yang berasal dari agama yang sama saja, belum tentu dapat membentuk pribadi anak secara baik dan sempurna, sebagaimana pemahaman dan keyakinan yang mereka pegang.
“Maka akan lebih parah lagi jika kedua orang tua mereka berasal dari agama yang berbeda, yang memiliki keyakinan dan kebiasaan yang berbeda tentunya. Akibatnya, sang anak akan kesusahan menempatkan dirinya dalam satu komunitas masyarakat nantinya.” Tegasnya
Akhirnya, percakapan berakhir setelah kurang lebih satu jam para narasumber ini mengungkapkan pendapatnya yang disertai dengan obrolan ringan yang menjadikan suasana menjadi sangat bersahabat. Sehingga antara mahasiswi UI dan mahasiswi STID terlihat begitu akrab meskipun ini merupakan kali pertama bertemu.