Kamis, 20 Februari 2014

Hamka dan Pers Islam

OlehEmi

Dalam otobiografinya kenang-kenangan hidup, Hamka menceritakan saat-saat awal dia menerjunkan diri ke lapangan karang-mengarang yang dimulainya dengan menulis “kaba” berjudul si sabariyah tahun 1928 dengan bahasa Minang dan huruf Melayu Jawi.

Di tahun 1929, sedang merasai nikmat pemuda baru kawin, terbaca olehya sebuah buku arab  yang penuh dengan syair dan amsal. Di sana terselatkan sebuah hikayat tentang pencintaan diantara Laila dan Majnun. Cerita itu hanya kira-kira dua halaman kitab saja, lalu dicobanya merangkai syair-syair dan amsal yang terkandung di dalam cerita itu dengan hayalannya, ditambahkannya, dipertautkannya di sana-sini, lalu disusunnya menjadi sebuah buku, dicobanya mengirim kepada Balai Pustaka.

Beberapa lama dia menanti jawaban dari Balai Pustaka, dengan dada yang berdebar-debar, dan setelah beberapa bulan kemudian datanglah balasan, bahwa “Laila Majnun” diterima dan akan diterbitkan oleh Balai Pustaka. Dengan ketentuan perubahan ejaan dan nama-nama seperti Muawiyah yang ditulis Maawiya, Maloh menjadi Maluwwah, Qais menjadi Kais dan sebagainya.

Berita dari Balai Pustaka itu sangatlah membesarkan hati pemuda Hamka yang waktu itu baru berumur dua puluh tahun; “Dia bangga, karena dialah pemuda didikan surau yang pertama kali tampil ketengah medan karang-mengarang bahasa Indonesia, sesudah berpuluh tahun ditinggalkan zaman, sejak hilangnya Hamzah fansuri.”

Mungkin kebanggaan Hamka tersebut, bisa dinilai sebagai suatu kebanggaan yang berlebih-lebihan, namun itulah sebenarnya cita-cita yang terpendam dalam diri anak desa didikan surau yang belum banyak pengalaman itu. Hal yang harus kita ingat pula ialah dunia karang-mengarang waktu itu, terutama para pengarang yang berpusat di Balai Pustaka, kebanyakan atau seluruhnya bukan didikan surau, tapi mereka yang terdidik dari sekolah-sekolah umum, HIS, HBS, AMS, dan dari sekolah Guru, dengan penguasaan bahasa belanda atau bahasa inggris. Sedang Hamka sama sekali tak pernah belajar bahasa-bahasa Barat itu, sebagai pemuda didikan surau bahasa asing yang dikenalnya ialah bahsa Arab.

Tidak sedikit pengaruh terbitnya buku Si Sabariyah dan Laila Majnun itu mendorongnya terus mengarang, demikian pengakuan Hamka dalam kenang-kenangan hidupnya di atas. Dorongan lain ialah yang datang dari ayahnya sendiri, Syaikh Abdul Karim Amrullah, yang mesti pada mulanya amat menginginkan putranya menjadi seorang ulama, kemudian terpaksa mengagumi juga bakat yang terpendam dalam diri putranya.

Kegembiraan ayahnya mendorongnya untuk terus mengarang. Kemudian terbitlah karangan-karangan lain, Ringkasan Tarikh Ummat Islam, Pembela Islam [Tarikh Abu Bakar] Sejarah Minangkabau dengan Agama Islam, buku ini disita polisi karena dianggap berbahaya, Agama dan Perempuan, dan Kepentingan Bertabligh.

Dengan modal bakat, kemudian keberanian, tak pernah bosan memperbaiki, mengisi dan memperhalus, sebagaimana yang ditulisnya itu, diawal tahun 1930 itu mulailah nama Hamka muncul dalam deretan pengarang Indonesia. Balai Pustaka yang menerbitkan buku “Laila Majnun” sebagaimana kita ketahui merupakan pusat lektur resmi di Indonesia pada waktu itu. Ketika Muhammadiyah daerah Minangkabau menerbitkan majalah bulanan bernama Kemaoean Zaman, Hamka pun diperayakan menjadi pemimpin Redaksinya [Hoofd redactuur].

Hamka mengkritik pengaruh kehidupan Barat yang tak diinginkannya. Tokoh Aziz dan dan adik perempuannya Khadijah dalam roman Tenggelamnya Kapal v.d Wijck itu merupakan profil pemuda pribumi yang telah rusak akibat gaya hidup Barat itu.

Khadijah yang memakai pakaian yang memperlihatkan bagian-bagian auratnya dan Aziz seorang play boy, suka minum dan menganut faham; “Hidup adalah komedi.Kejujuran tergantung pada uang. Kawin tak ada gunanya, asal suka sama suka. Sebab kawin hanyalah ijab kabul, yang perempuan dibolehkan kawin, kalau tidak, tidak boleh. Yang demikian adalah merampas kemerdekaan. Lebih baik turutkan saja kehendak hati sedang badan muda, kalau sudah tua , yaitu kesempatan,  kesenangan tak ada lagi, barulah perbaiki diri, baru kawin.” Disamping itu unsur yang ditentang Hamka adalah adat istiadat masyarakat yang sangat bertentangan dengan ajaran islam yang sejati.

Itulah sedikit peranan Hamka dan Majalah Pedoman Masyarakatnya. Betapapun barang kali kecil artinya, namun tidaklah dapat dinafikan bahwa Pedoman Masyarakat adalah satu media kaum pembaharuan islam diwaktu itu. Karena selain menerbitkan Pedoman Masyarakat, Hamka juga menjadi konsul Muhammadiyah di Jawa Timur. Sebagai pemimpin Muhammadiyah, tulisannya tak bisa lepas dari cara perjuangan Muhammadiyah yaitu da’wah dan pendidikan.