Kamis, 20 Februari 2014

Sejarah Media Massa

OlehLaili Sa’adah

Sejarah media massa di mulai semenjak manusia mengenal tulisan ribuan tahun yang lalu. Dengan adanya tulisan maka muncul juga para penulis yang mencatat atau menulis di buku, berkembangnya tulisan ini kemudian semakin lama dikenal dengan media massa. Media massa telah membantu dalam menciptakan kesadaran sosial dan juga telah memberi manusia dengan cara yang lebih mudah dalam menjalani hidup.

Media massa mulai berkembang sekitar 3300 SM, ketika bangsa Mesir menyempurnakan huruf Hieroglif. Sistem penulisan ini berdasarkan simbol, kemudian pada tahun 1500 SM, bangsa Semit menyusun huruf dengan konsonan. Setelah itu sekitar 800 SM, huruf vokal dimasukkan ke dalam alfabet oleh bangsa Yunani.

Banyak buku yang telah ditulis pada Zaman dahulu, namun berdasarkan penelitian mengkonfirmasi bahwa buku cetak pertama adalah Diamond Sutra yang ditulis di Cina pada tahun 868 SM. Teknologi pencetakkan kemudian berkembang di Eropa  pada tahun 1400. Johannaes Gutenberg (Jerman), menemukan mesin cetak.

Buku pertama yang dicetak pada tahun1453, salah satu buku yang dicetak itu adalah The Gutenberg Bible. Dari satu kota di Jerman, mesincetak kemudian tersebar keseluruh Eropa. Pada tahun 1468, William Caxton menghasilkan sebuah buku dengan iklan cetak pertama di Inggris. Di tahun 1500, dua juta Eksemplar buku dicetak di Inggris. Dalam jangka waktu seratus tahun, percetakan naik menjadi dua ratus eksemplar.

Media massa cetak di Indonesia telah ada sejak tahun 1744. Saat itu media massa dikuasai sepenuhnya oleh kolonialisme Belanda. Oleh karena itu bahasa yang digunakan pun bahasa Belanda dan isi beritanya pun mengenai kehidupan orang-orang Eropa di Indonesia.  Pada masa pendudukan Jepang, para pemerintah penjajah mengawasi isi berita media massa cetak di Indonesia dengan ketat.

Berita-berita yang diterbitkan di media massa cetak pada masa pemerintahan Jepang harus memuat nilai-nilai yang memuji-muji pemerintahan jepang. Pada perkembangan berikutnya wartawan media massa cetak pribumi saat itu hanya bersetatus sebagai pegawai saja, sedangkan orang-orang yang ditempatkan diposisi strategis dan tinggi adalah sumber daya manusia yang sengaja didatangkan lansung dari Jepang.

Pada masa ini, surat kabar-surat kabar Indonesia yang semula berusaha dan berdiri sendiri dipaksa bergabung menjadi satu, dan segala bidang usahanya disesuaikan dengan rencana-rencana serta tujuan-tujuan tentara Jepang untuk memenangkan apa yang mereka namakan “Dai Toa Senso” atau Perang Asia Timur Raya. Dengan demikian, di zaman pendudukan Jepang pers merupakan alat Jepang. Kabar-kabar dan karangan-karangan yang dimuat hanyalah pro-Jepang semata.

Pada masa pemerintahan penjajah jepang, salah satu media massa cetak yang sukses adalah “Tjahaja”. Surat kabar ini sudah berbahasa Indonesia meski isi beritanya segala informasi tentang Jepang.

Surat kabar tersebut diterbitkan oleh sebuah penerbit di Bandung, Pahlawan Nasional  Oto Iskandar Dinata, beliau sempat menjabat sebagai kepala redaksi  “Tjahaja”, tepatnya pada tahun 1941-1945.

Pada Maret 1688, tiba mesin cetak pertama di Indonesia dari negeri Belanda. Atas intruksi pemerintah, diterbitkan surat kabar tercetak pertama dan dalam nomor perkenalannya dimuat ketentuan-ketentuan perjanjian antara Belanda dengan Sultan Makassar. Setelah surat kabar pertama kemudian terbitlah surat kabar yang diusahakan oleh pemilik percetakan-percetakan di beberapa tempat di Jawa. Surat kabar tersebut lebih berbentuk koran iklan. fungsinya untuk membantu pemerintahan kolonial belanda.

Pada masa perjuangan kemerdekaan muncul berbagai surat kabar yang bersikap pro kemerdrkaan, seperti “Soeara Merdeka” (Bandung), “Soeara Indonesia”, “Demokrasi” (Padang). Di berbagai media cetak tersebutlah para pejuang meneriakkan perjuangan kemerdekaan dalam artikel-artikel yang mereka tulis.

Selanjutnya pada masa Orde Lama, terdapat perubahan yang signifikan pada media massa cetak  dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Isi Dekrit itu adalah larangan Pers untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan Politik. Dengan kata lain, media massa cetak dilarang menjadi alat propaganda kepentingan politik manapun.

Media massa cetak lebih bebas di masa pemerintahan Orde baru. Berbagai media massa lokal maupun Nasional dan media massa cetak Pers kampus mulai hidup kebali. Sayangnya, kebebasan ini hanya terlihat dari luar. Pemerintah Orde baru melakukan pengawasan dan pengekangan kepada wartawan dan redaksi media massa cetak terkait konten media massa yang mereka terbitkan.

Berbagai berita yang dianggap merugikan akan ditindak lanjuti dengan cara mencabut izin SIUP media massa yang dimuat tersebut. Hal ini, terjadi pada media massa cetak “Sinar Hrapan”, “Detik”, “Monitor”.

Keadaan media massa cetak berubah total di era revormasi. Di masa yang serba transparan dan terbuka ini, pers bisa memberitakan apapun, bahkan hal-hal yang dianggap merugikan (hingga menjelek-jelekan) pemeritah yang sedang berkuasa.