Oleh: Yeti Ratnasari
“Pers sebegitu rupanya harus mematuhi rambu-rambu yang negara telorkan”. Kata yang tercantum dalam sebuah makalah yang dipublikasikan di salah satu website, yaitu http://shindohjourney.wordpress.com/seputar-kuliah/makalah-sistem-pers-era-orde-baru sebagai gambaran keadaan pers pada masa orde baru.
Pada awal kepemimpinan orde baru menyatakan bahwa membuang jauh praktik demokrasi terpimpin diganti dengan demokrasi Pancasila, hal ini mendapat sambutan positif dari semua tokoh dan kalangan, sehingga lahirlah istilah pers Pancasila. Menurut sidang pleno ke 25 Dewan Pers bahwa Pers Pancasila adalah pers Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap, dan tingkah lakunya didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Hakekat pers Pancasila adalah pers yang sehat, pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat, dan kontrol sosial yang konstruktif. (http://kakarisah.wordpress.com/2010/03/09/pers-indonesia-dari-masa-ke-masa).
Ironisnya, kebebasan itu hanya berlangsung selama 8 tahun, terjadinya peristiwa MALARI (Lima Belas Januari 1974) mengakibatkan pers kembali seperti pada masa orde lama.
Dengan peristiwa MALARI, beberapa surat kabar dilarang terbit/dibredel, yaitu Kompas, Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo yang merupakan contoh-contoh kentara dalam sensor kekuasaan ini. Pers pasca peristiwa MALARI cenderung pers yang mewakili kepentingan penguasa, pemerintah atau negara. Kontrol terhadap pers ini dipegang melalui Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah yang kemudian memunculkan Aliansi Jurnalis Indepen yang mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna Galih, Jawa Barat. Beberapa aktivisnya dimasukkan ke penjara. Pemerintah orde baru menganggap bahwa pers adalah institusi politik yang harus diatur dan dikontrol sebagaimana organisasi masa dan partai politik. (http://kakarisah.wordpress.com/2010/03/09/pers-indonesia-dari-masa-ke-masa).
Pers yang di kembangkan pada rezim orde baru adalah pers yang otoriter. Pers dipaksa untuk memuat setiap berita harus tidak boleh bertentangan dengan pemerintah. Dapat dikatakan bahwa pemerintah menjadi penguasa pers.
Bentuk lain dari kekuasaan pemerintah atas pers di tanah air adalah munculnya SIUPP yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers. Orde Baru sedemikian ketatnya dalam hal pengawasan atas pers, karena mereka tidak menghendaki mana kala pemerintahan menjadi terganggu akibat dari pemberitaan di media-media massa. Sehingga fungsi pers sebagai transmisi informasi yang obyektif tidak dapat dirasakan. Padahal dengan transmisi informasi yang ada diharapkan pers mampu menjadi katalisator bagi perubahan politik atau pun sosial.
Sedangkan pada masa Orde Baru, fungsi katalisator itu sama sekali hilang. Hal ini seperti apa yang disampaikan oleh Abar (1994: 23) bahwa kebebasan pers waktu itu ternyata tidak berhasil mendorong perubahan politik menuju suatu tatanan masyarakat yang demokratis, tetapi justru mendorong resistensi dan represi negara. Penelitian yang banyak dilakukan berkenaan dengan pers di masa Orde Baru bisa jadi benar hanya pada titik tertentu. Hal ini merupakan suatu hal yang sangat mendasar tentang sistem kepolitikan Orde Baru khsususnya perlakuannya terhadap lembaga pers.
Rezim orde baru membuat seolah-olah pers menjadi sebuah boneka dari pemerintah yang berkuasa pada rezim tersebut. Dalam hal ini latar belakang pers sebagai suatu lembaga sosial yang mempunyai kekuatan dalam sistem politik dan bahwa pers selama orde baru senantiasa dibatasi ruang geraknya oleh pemerintah, dengan kata lain dilakukannya kontrol yang ketat oleh pemerintah terhadap pers.
Tak ada demokrasi tanpa kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak paling mendasar dalam kehidupan bernegara. Sesuai Prinsip Hukum dan Demokrasi, bahwa perlindungan hukum dan kepastian hukum dalam menegakkan hukum perlu ada keterbukaan dan pelibatan peran serta masyarakat. Untuk itu, kebebasan pers, hak wartawan dalam menjalankan fungsi mencari dan menyebarkan informasi harus dipenuhi, dihormati, dan dilindungi. Hal ini sesuai dengan UUD 45 Pasal 28 tentang kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat.
Semoga keotoriteran di masa Orde Baru yang menjadikan pers sebagai boneka pemerintah tidak terulang kembali dalam lembaran sejarah bangsa ini.
“Pers sebegitu rupanya harus mematuhi rambu-rambu yang negara telorkan”. Kata yang tercantum dalam sebuah makalah yang dipublikasikan di salah satu website, yaitu http://shindohjourney.wordpress.com/seputar-kuliah/makalah-sistem-pers-era-orde-baru sebagai gambaran keadaan pers pada masa orde baru.
Pada awal kepemimpinan orde baru menyatakan bahwa membuang jauh praktik demokrasi terpimpin diganti dengan demokrasi Pancasila, hal ini mendapat sambutan positif dari semua tokoh dan kalangan, sehingga lahirlah istilah pers Pancasila. Menurut sidang pleno ke 25 Dewan Pers bahwa Pers Pancasila adalah pers Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap, dan tingkah lakunya didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Hakekat pers Pancasila adalah pers yang sehat, pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat, dan kontrol sosial yang konstruktif. (http://kakarisah.wordpress.com/2010/03/09/pers-indonesia-dari-masa-ke-masa).
Ironisnya, kebebasan itu hanya berlangsung selama 8 tahun, terjadinya peristiwa MALARI (Lima Belas Januari 1974) mengakibatkan pers kembali seperti pada masa orde lama.
Dengan peristiwa MALARI, beberapa surat kabar dilarang terbit/dibredel, yaitu Kompas, Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo yang merupakan contoh-contoh kentara dalam sensor kekuasaan ini. Pers pasca peristiwa MALARI cenderung pers yang mewakili kepentingan penguasa, pemerintah atau negara. Kontrol terhadap pers ini dipegang melalui Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah yang kemudian memunculkan Aliansi Jurnalis Indepen yang mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna Galih, Jawa Barat. Beberapa aktivisnya dimasukkan ke penjara. Pemerintah orde baru menganggap bahwa pers adalah institusi politik yang harus diatur dan dikontrol sebagaimana organisasi masa dan partai politik. (http://kakarisah.wordpress.com/2010/03/09/pers-indonesia-dari-masa-ke-masa).
Pers yang di kembangkan pada rezim orde baru adalah pers yang otoriter. Pers dipaksa untuk memuat setiap berita harus tidak boleh bertentangan dengan pemerintah. Dapat dikatakan bahwa pemerintah menjadi penguasa pers.
Bentuk lain dari kekuasaan pemerintah atas pers di tanah air adalah munculnya SIUPP yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers. Orde Baru sedemikian ketatnya dalam hal pengawasan atas pers, karena mereka tidak menghendaki mana kala pemerintahan menjadi terganggu akibat dari pemberitaan di media-media massa. Sehingga fungsi pers sebagai transmisi informasi yang obyektif tidak dapat dirasakan. Padahal dengan transmisi informasi yang ada diharapkan pers mampu menjadi katalisator bagi perubahan politik atau pun sosial.
Sedangkan pada masa Orde Baru, fungsi katalisator itu sama sekali hilang. Hal ini seperti apa yang disampaikan oleh Abar (1994: 23) bahwa kebebasan pers waktu itu ternyata tidak berhasil mendorong perubahan politik menuju suatu tatanan masyarakat yang demokratis, tetapi justru mendorong resistensi dan represi negara. Penelitian yang banyak dilakukan berkenaan dengan pers di masa Orde Baru bisa jadi benar hanya pada titik tertentu. Hal ini merupakan suatu hal yang sangat mendasar tentang sistem kepolitikan Orde Baru khsususnya perlakuannya terhadap lembaga pers.
Rezim orde baru membuat seolah-olah pers menjadi sebuah boneka dari pemerintah yang berkuasa pada rezim tersebut. Dalam hal ini latar belakang pers sebagai suatu lembaga sosial yang mempunyai kekuatan dalam sistem politik dan bahwa pers selama orde baru senantiasa dibatasi ruang geraknya oleh pemerintah, dengan kata lain dilakukannya kontrol yang ketat oleh pemerintah terhadap pers.
Tak ada demokrasi tanpa kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak paling mendasar dalam kehidupan bernegara. Sesuai Prinsip Hukum dan Demokrasi, bahwa perlindungan hukum dan kepastian hukum dalam menegakkan hukum perlu ada keterbukaan dan pelibatan peran serta masyarakat. Untuk itu, kebebasan pers, hak wartawan dalam menjalankan fungsi mencari dan menyebarkan informasi harus dipenuhi, dihormati, dan dilindungi. Hal ini sesuai dengan UUD 45 Pasal 28 tentang kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat.
Semoga keotoriteran di masa Orde Baru yang menjadikan pers sebagai boneka pemerintah tidak terulang kembali dalam lembaran sejarah bangsa ini.