Rabu, 19 Februari 2014

Sejarah Perkembangan Surat Kabar

Oleh: Mentari


Surat kabar merupakan media massa yang paling tua dibandingkan dengan jenis media massa lainnya. Sejarah telah mencatat keberadaan surat kabar dimulai sejak ditemukannya mesin cetak oleh Johann Guternberg di Jerman.  

Keberadaan surat kabar di Indonesia ditandai dengan perjalanan panjang melalui lima periode yakni masa penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, menjelang kemerdekaan dan awal kemerdekaan, serta zaman orde lama dan serta orde baru.

Di zaman Belanda, surat kabar-surat kabar yang terbit tidak mempunyai arti secara politis, karena lebih merupakan surat kabar periklanan. Di masa ini setiap penerbit terkena peraturan, setiap penerbitan tidak boleh diedarkan sebelum diperiksa oleh penguasa setempat, dalam arti surat kabar di kuasai oleh penguasa.

Kemudian ketika Jepang datang, surat kabar-surat kabar yang ada di Indonesia diambil alih secara pelan-pelan. Beberapa surat kabar disatukan dengan alasan untuk menghemat alat-alat dan tenaga. Tujuan sebenarnya adalah agar pemerintah Jepang dapat memperketat pengawasan terhadap isi surat kabar. Wartawan-wartawan Indonesia pada saat itu hanya bekerja sebagai pegawai, sedang yang diberi pengaruh serta kedudukan adalah wartawan yang sengaja didatangkan dari Jepang.

Pada masa awal kemerdekaan, Indonesia pun melakukan perlawanan dalam hal sabotase komunikasi. Indonesia mulai menerbitkan surat kabar yang dimana surat kabar yang diterbitkan oleh bangsa Indonesia pada saat itu merupakan tandingan dari surat kabar yang diterbitkan pemerintah Jepang.

Setelah Presiden Soekarno mengumumkan dekrit kembali ke UUD 1945 tanggal 5 Juli 1959, terdapat larangan kegiatan politik, termasuk pers. Persyaratan mendapat SIT ( Surat Izin Terbit) dan Surat Izin Cetak diperketat. Situasi seperti ini dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang ada pada saat itu amat menaruh perhatian pada pers. PKI memanfaatkan para buruh, termasuk karyawan surat kabar untuk melakukan apa yang dinamakan slowdown strike, yakni mogok secara halus. Dalam hal ini, karyawan di bagian setting melambatkan kerjanya, sehingga banyak kolom surat kabar yang tidak terisi menjelang deadline.

Selanjutnya, sejalan dengan tampilnya orde baru, surat kabar yang tadinya dipaksakan untuk mempunyai “gantolan”, kembali mendapatkan kepribadiannya. Pertumbuhan pers yang marak di satu pihak cukup menggembirakan, tapi di lain pihak perlu diwaspadai. mengutip pernyataan Presiden Soeharto di hadapan sidang umum MPR 12 maret 1973, “sudah sewajarnya kita merasa bangga dan lega melihat pertumbuhan pers yang bebas dan merdeka, suatu pertanda bahwa kehidupan demokrasi terjamin pelaksanaannya dalam orde baru, tapi sering-sering kita merasa prihatin dan khawatir terhadap penggunaan hak kebebasan pers yang kurang wajar dan  bertanggung”. Selanjutnya Presiden Soeharto mengemukakan, “masih banyak surat kabar atau majalah yang terdorong oleh tujuan komersial ataupun  motif lainnya menyajikan berita-berita yang sensasional tanpa norma-norma kesusilaan, sopan santun, kerahasiaan negara, dan kurang memperhatikan akibat tulisan yang dapat menggoncangkan masyarakat, yang pada gilirannya akan dapat merusak stabilitas nasional”. Itulah sebabnya, terhadap surat kabar dan majalah yang “nakal”, pemerintah memberikan ganjaran berupa pencabutan Surat Izin Terbit dan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers ( SIUPP).

Di zaman Reformasi, kejatuhan Presiden Soeharto pada 21 mei 1998 silam membawa aura baru di dunia pers. Berakhirnya orde baru mengalirkan kebebasan berekspresi melalui media atau kebebasan pers. Pada masa itu media masa terutama media cetak tumbuh bagai jamur di musim hujan. Dari berbagai pihak ramai-ramai menerbitkan surat kabar maupun majalah yang dimana mereka saling bersaing. Ini terjadi pada masa pemerintahan Habibie dengan Menteri Penerangan Letjen TNI Muhammad Yunus Yosfiah.  Pada saat ini Yunus Yosfiah menerapkan kebijakan pers yang liberal  dengan memberikan kemudahan bagi siapa pun untuk bisa memperoleh SIUPP. Akibatnya dalam masa pemerintahan Habibie yang singkat, Mei 1998 sampai Oktober 1999, sudah dikeluarkan lebih dari 1600 SIUPP baru. Padahal selama 32 tahun  era Soeharto, hanya sekitar 300 SIUPP yang dikeluarkan.(http://satrioarismunandar6.blogspot.com)

Pada masa Pascareformasi, SIUPP akhirnya dihapuskan. Sejak itu, jumlah penerbitan pers di Indonesia membengkak drastis. Menurut Serikat Penerbitan Surat kabar (SPS), hanya 30% saja yang mapan secara keuangan. Surat kabar Indonesia menghadapi masalah klasik berupa rendahnya minat baca dan daya beli. Akibatnya banyak surat kabar yang gulung tikar (www.undp.or.id)

Masa euphoria kebebasan pers kian menguat saat Abdurrahman wahid berkuasa. Ia membubarkan Departemen Penerangan. Sebuah lembaga yang menjadi simbol structural pengekangan pers. Lagi-lagi media pun tumbuh menjamur.

Delapan tahun sudah jalan kebebasan pers terbuka, tapi pers Indonesia belum menemuka jati dirinya. Pers yang kebablasan dengan eksploitasi kekerasan, kriminalitas, dan pornografi sebagai resep manjur untuk bertahan di tengah persaingan industri media menjadi isu utama. Dari kasus-kasus tersebut muncul kembali wacana untuk membuat rambu-rambu yang lebih tegas. Ini mejadi pekerjaan rumah yang harus dicermati (www.liputan6.com).

Para insan media yang masih punya idealisme tinggi membentuk asosiasi-asosiasi baru yang concern pada masalah etika pers, misalnya Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Pemerintah pun memberlakukan Undang-Undang no.40 tahun 1999 tentang pers. Undang-undang inilah yang kemudian menjadi tonggak kebebasan pers era reformasi.